image

ByAssoc. Professor. Awaludin Marwan, SH, MH, MA, PhD

06 Juni 2024

Diskursus Filsafat Hukum Pelindungan Data Pribadi

Filsuf dan psikoanalisis ternama Prancis pada tahun 1960, Jacques Lacan, menulis dalam buku paling berpengaruhnya, Ecrits. Ia mendefinisikan bahwa manusia adalah subjek ketidak-sadaran. Di mana imajinasi, kenangan, intensi agresif dan hasrat ditekan sedemikian rupa, tinggallah arsip tak berbekas (Lacan, 1966., p. 11).

Membayangkan teori Lacan puluhan tahun silam, sebenarnya melukiskan tentang ‘kita sendiri, tidak begitu tahu tentang diri kita sendiri.’ Sebab alam bawah sadar kitalah yang sebenarnya menentukan dan sulit dijangkau, terkadang muncul dalam mimpi. Nah, apa jadinya jika ternyata alam bawah sadar ini diriwayatkan dengan apik oleh perusahaan teknologi.

Ke mana saja kita pergi, mengetik apa saja di gadget, mengunjungi situs apa saja kita, berapa lama kita berselancar di TikTok, belanja apa saja bulan ini, video apa saja yang suka kita tonton di Youtube, dan seterusnya dan seterusnya. Mereka, perusahaan teknologi, lebih tahu tentang hasrat kita, ketimbang diri kita sendiri.

Seperti narasi yang dikembangkan oleh Shoshana Zuboff dalam the Age of Surveillance Capitalism (2019), tentang kapitalisme penyadapan telah menjelma sebagai Yang Liyan Besar, menentukan segalanya. Ia, melakukan manipulasi perilaku. Ia, merekayasa sikap dan sensasi. Ruang digital hanyalah sebuah instrumen untuk melahirkan spesies kekuasaan baru (Zuboff, 2019., p. 354).

Dengan kata lain, by nature, privasi ini memang sebagai lokomotif yang digunakan sebagai pendorong jalannya mesin teknologi. Pada titik inilah, pemanfaatan data privasi perlu dilakukan secara bijak.

Sejak Directive 95/ 46/ EC Parlemen Eropa yang dirilis pada 24 Oktober 1995 dan Regulasi 2016/ 679 yang dirilis pada 14 April 2016, hukum pelindungan data pribadi menjadi trend di era digital saat ini. Begitu halnya, Indonesia yang sudah mempunyai UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.

Semua industri bersiap menyambut regulasi yang fundamental di ruang digital ini.

Privasi Hukum Kodrat

Pada dasarnya, privasi adalah sebuah keniscayaan. Tak mungkin seseorang mau telanjang bulat dalam kondisi sadar. Baju yang menutupi tubuh, adalah bagian dari ruang-ruang privasi yang dilindunginya.

Jika kita dibilang tidak butuh privasi, maka itu juga pernyataan yang kurang bijak. Nyatanya kita masih butuh baju untuk menutup bagian tubuh yang paling privat.

Meskipun, karakter orang timur hidup komunal. Namun pada lingkup keluarga, suami istri, persahabatan selalu tergores aspek privasi di sela-sela perbincangan. Privasi adalah epik di mana seluruh umat manusia berkehendak merengkuhnya sebagai sebuah hak yang lekat. Privasi, meminjam istilah Immanuel Kant, terbagi dalam hukum natural dan positif (Kant, 1887., p. 55).

Sebagai sebuah anugerah, privasi diamanahkan oleh GDPR dan UU No, 27 serta perangkat hukum yang lain. Seseorang bisa mengajukan keberatan atas tindakan orang lain yang dirasa mengganggu privasinya.

Tulisan yang banyak para akademisi privasi kutip adalah Samuel D Warren & Louis Brandeis, The Right to Privacy, 1890 yang dimuat di jurnal Harvard Law Review. Mereka percaya bahwa khittah dari privasi sejatinya adalah hak untuk dibiarkan sendiri ‘right to be alone’ (Warren&Brandeis, 1860)

Meskipun individualisme semacam ini, kurang sesuai dengan budaya timur. Individualisme jelas-jelas ditentang oleh para tokoh bangsa Soekarno, Yamin, Soepomo, dst.

Pada waktu itu, sebuah perkara di Mahkamah Agung Amerika, Marion Monala v. Steven&Myers pada tahun 1890. Monala sedang memerankan sandiwara di sebuah teater dengan hikmat. Tanpa disadari, tiba-tiba cahaya kamera menyala mengagetkannya. Ia keberatan gambarnya diabadikan oleh seorang kameramen. Ia pun menggugatnya.

Privasi di Ruang Publik

Saat jalan-jalan di sepanjang trotoar, ‘apakah CCTV beredar di sekitar tersebut merekam dengan jelas wajah saya?’ Seperti di ruas-ruas jalan di sebuah negara yang cukup canggih. Mereka memasang kamera pengintai dengan resolusi tinggi, bahkan untuk mendeteksi gerakan dan profil orang yang diduga akan melakukan kejahatan.

Lessig, profesor kenamaan hukum siber dari Harvard percaya bahwa jawaban tradisional, apakah kita mempunyai perlindungan terhadap pengumpulan data di area publik. Tidak ada. Kita tidak mempunyai perisai sama sekali di ruang publik. Lawrence Lessig, menyandingkannya dengan bebas seperti ‘udara yang kita hirup (Lessig, 2006, p. 202).’

Hubungan antara privat dan publik memang sebuah diskursus yang selalu menghangat setiap waktu. Kadang di ruang yang paling privat sekalipun, kita memiliki perasaan sedang diintai oleh sesuatu.

Kehilangan aspek privat di ruang [public] digital selalu mengingatkan kita pada metafora Foucault yang meminjam istilah Jeremy Bentham soal: Panopticon. Saat kita, subjek data, terasa kehilangan sesuatu yang seharusnya menjadi hak kita. Namun, kita terus dieksploitasi dan diawasi oleh menara dan seakan-akan hidup dalam penjara (Zuboff, 2019., p. 441).

Jalan Filsafat

Sebuah pidato filsuf hukum terkemuka Indonesia, Prof Shidarta, dengan judul ‘Multisentrisme Humaniora Digital: Filsafat Hukum Masa Depan dan Masa Depan Filsafat Hukum,’ patut direnungi.

Digitalisasi harusnya memanusiakan manusia, bukan malah memaksa dehumanisasi (Shidarta, 2022).

Perkembangan teknologi dengan begitu juga cepat, jangan sampai membuat sebagian orang terluka karenanya. Mengorbankan orang-orang yang tertinggal. Tidak adanya ruang bagi anak-anak mendapatkan area bermain. Para penyandang disabilitas semakin tersisihkan. Banyak orang kehilangan pekerjaan tanpa punya persiapan kehidupan yang memadai.

Termasuk mengorbankan privasi para subjek data yang telah dititipkan dengan penuh kepercayaan.

Filsafat. Bisa jadi sebuah disiplin kritis untuk menguji kembali seluruh pandangan dan operasional pelindungan data pribadi. Ke depan, hukum pelindungan data pribadi perlu dikuatkan kajian dari aspek hukum kodrat, kritis, sosiologis, positivisme hukum, realis, dan aliran-aliran hukum lain.

Pelacakan terhadap simpul-simpul ontologi, aksiologi dan epistemologi dari ilmu pelindungan data pribadi ini juga perlu disisir. Sehingga, pelindungan data pribadi, tidak hanya sekadar diskursus teknis saja. Tidak hanya memperbincangkan kerangka-kerangka kerja operasional saja. Melainkan ide dan gagasan yang fundamental tentang manusia dan kemanusiaan di ruang digital.

Writer:

Assoc. Professor. Awaludin Marwan, SH, MH, MA, PhD

Founder & CEO HeyLaw-Privasimu

Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Sumber:

Immanuel Kant (1887) The Philosophy of Law: An Exposition of the Fundamental Principles of Jurisprudence as the Science of Right. Front Cover ·. T. & T. Clark,

Jacques Lacan. (1996) Écrits, Volume 1., Édition du Seuil,

Lessig, L. (2006). Code and Other Laws of Cyberspace, Version 2.0. New York Basic Books

Shoshana Zuboff,  (2019) The age of surveillance capitalism: the fight for a human future at the new frontier of power: New York: Public Affairs,

Samuel D. Warren & Louis D. Brandeis, The Right to Privacy, 4 HARV. L. REV. 193 (1890). 56.

Shidarta, (2022) Multisentrisme Humaniora Digital: Filsafat Hukum Masa Depan dan Masa Depan Filsafat Hukum. Binus University

Popular Articles

Rezim Pelindungan Data Pribadi: Apa sajakah yang berubah?

Rezim Pelindungan Data Pribadi: Apa sajakah yang berubah?

Eryk Budi Pratama, M.Kom, M.M, CIPM, CIPP/E, FIP

Memperbincangkan RoPA

Memperbincangkan RoPA

Assoc. Professor. Awaludin Marwan, SH, MH, MA, PhD

Dinamika Kontrak Pelindungan Data Pribadi

Dinamika Kontrak Pelindungan Data Pribadi

Assoc. Professor. Awaludin Marwan, SH, MH, MA, PhD

Perjalanan dalam Menerapkan Pelindungan Data Pribadi (Maret 2024)

Perjalanan dalam Menerapkan Pelindungan Data Pribadi (Maret 2024)

Eryk B.Pratama, M.Kom, M.M, CIPM, CIPP/E, FIP